An Escape Story : Artapela Mt

Awalnya pertama kali mendengar nama gunung ini dari seorang teman di salah satu grup Whatsapp. Setelah googling, ternyata ada gunung –atau mungking bukit(?) – yang sedang hits di Bandung, yang punya view keren dan bisa dipakai buat camp juga. Maka jadilah ajakan teman untuk nanjak kesana sulit untuk ditolak. Apalagi saat itu memang sedang mumet2nya di kantor dan ingin sekali melepas diri sementara dari rutinitas. Adalah menyedihkan jika hidup yang berharga ini dihabiskan hanya dalam kubikel 2x3 m untuk melulu memikirkan kerjaan.

Tanggal untuk trip pun ditentukan: 14-15 April. Kebetulan tanggal 14 itu libur, dan hari Jum’at. Tidak ada yang lebih membahagiakan dari tanggal merah dihari Jum’at. Selesai acara kantor, saya pun packing seadanya dan berangkat ke Bandung dari Terminal Lebak Bulus bareng bang Sandi –temen kosan yang kebetulan akan ke Papandayan. Sayangnya karena sampai di Lb bulus lewat jam 11 malam, bus primajasa terakhir sudah lewat, dan baru ada lagi jam 5 pagi besoknya. Akhirnya, kami memutuskan untuk berangkat dari Kp Rambutan, dimana busnya lebih beragam dan tujuan Tasik dan Garut nya cukup banyak. Benar saja, sekitar pukul 2 pagi masih ada saja bus yang ngetem disini. Perjalanan pun tidak terasa, dan sampai di Bandung sekitar pukul 8 pagi, agak lama mungkin karena banyak juga orang yang sedang memanfaatkan long weekend ini untuk main ke Bandung.

Dan bagi saya, perjalanan ke Bandung itu bagaikan perjalanan kembali ke Rumah. Pulang dengan versi yang berbeda. Setiap kali akan kembali lagi kesini, selalu saja dibarengi flashback yang membawa ke memori-memori lama. Maka benarlah ada quote, “Bandung bukan hanya sebuah kota, melainkan sebuah perasaan”. Bandung yang punya kultur ramah dan sopan, budaya “punten” dan sebagainya baru terasa setelah hidup di kota yang sebenarnya tidak begitu jauh dan masih satu pulau dengan Bandung. Berbagai pikiran muncul dalam perjalanan ini.

Tiba di Jatinangor, saya menyempatkan diri untuk tidur sebentar, karena dalam bus tadi selalu gagal untuk tidur. Setelah menunggu teman-teman lain datang, kami pun mengecek kembali barang dan memastikan semua yang dibutuhkan ikut dibawa. Total kami saat itu ber-delapan, maka pas untuk saling berboncengan menggunakan motor. Saat itu ada Ebi, Tris, Ade, Bayu, Tino, Arif, Gera. Teman-teman yang sangat sibuk sekali sampai waktur berangkatnya pun molor hampir sejam.  Maklum, setelah lulus dari kampus belum lama ini, hampir semua sudah punya kesibukan masing-masing. Ada yang berkarir di Bank, Rumah Sakit, dan ada pula melanjutkan studi S2 nya. Dan momen nanjak bareng ini adalah waktu yang tepat untuk life-update kehidupan masing-masing.

Setelah siap, sekitar pukul 10 pagi kami pun berangkat, menuju desa Sukapura di Kecamatan Sukasari, starting point untuk menuju Artapela. Karena belum ada dari kami yang pernah kesana, jadilah maps sebagai alat bantu penunjuk jalan. Kami melewati Majalaya, dan terus sampai ke daerah Pacet. Perjalanan setelah Pacet ini meyuguhkan pengalaman yang menarik dimana sepanjang jalanan menanjak dan berliku-liku ini dikelilingi tebing dan pohon-pohon tinggi. Sawah dan kebun warga yang begitu hijau terlihat begitu indah dari atas. Dan tidak terasa kami pun tiba di Desa Sukapura sekitar pukul 01.30 setelah sebelumnya kami mampir di salah satu masjid di Pacet untuk istirahat dan shalat Jum’at.

Kami pun mengisi semacam form pendaftaran, uang parkir plus uang administrasi –yang biasa disebut simaksi –dan sekalian mengisi perut di warteg terdekat sebelum nanjak. Di base camp artapela saat itu sudah cukup ramai oleh pendaki lain yang sibuk ng,obrol dan memperbaiki posisi carriernya. Setelah memastikan semua siap, kami memulai pendakian gunung Artapela yang ketinggiannya 2194 mdpl. Suka dengan angka ketinggian ini, mungkin karena ada angka 94 nya, hehehe.

Dari basecamp, kami dibekali sebuah peta yang menggambarkan jalur pendakian Artapela. Di awal awal trekking, kami mendapati banyak kebun-kebun warga. Jalurnya pun awal-awal masih cukup landai. Sesekali kami berpapasan dengan petani yang mengangkut hasil panennya. Ada yang mengangkutnya menggunakan motor, ada juga yang menenteng dengan pundaknya.

Petani sedang membawa hasil kebun sambil menggendong anaknya
Tidak lama berjalan, kami berhenti sejenak karena menemukan persimpangan jalan yang membingungkan. Karena peta jalur hanya ada di hp Bayu dan Tino, jadilah kami harus menunggu Tino yang masih tertinggal dibelakang. Setelah melihat peta, sebenarnya jalurnya cukup gampang diingat. Cukup lurus, belok kanan, lurus, terus belok kanan. Kenyataanya, banyak persimpangan yang meragukan apakah ini lurus atau belok kanan. Biasanya sampah plastik bekas makanan bisa dijadikan tanda untuk diikuti. Setelah melewati perkebunan dan sebuah bukit, kami beristirahat sejenak. Saat itu saya bergantian dengan Ebi yang membawa carrier berisi di tenda –yang kemudian sampai puncak tidak gantian lagi –selanjutnya trekking nya semakin curam. Kami terpisah dua kelompok karena Tris dan Ebi –mungkin karena kecapean atau tubuhnya kaget kurang olahraga –jalan santai dibelakang dan terpisah.

Trek kebun (1)
Sepanjang jalan kita bisa menemukan berbagai macam tanaman sayuran, yang kalau dikumpulkan dan diolah bisa menjadi sayur sop yang enak. Petak-petak sawah yang berjejeran terlihat indah sekali dari kejauhan. Saya baru tahu kemudian bahwa kawasan ini sebenarnya adalah hutan lindung yang kemudian diubah oleh warga sekitar menjadi kebun-kebun musiman. Sebagian besar perjalanan ini kami suguhi pemandangan tanaman-tanaman kebun berhektar-hektar. Sesekali kami bertemu dengan petani yang sedang merawat kebunnya. Semakin lama treknya semakin curam, membutuhkan kekuatan lebih dan istirahat sesering mungkin. Detak jantung semakin terasa, rasa haus sangat cepat datang, dan kami juga harus pandai-pandai menjaga stok air karena semakin ke atas tidak ada tempat mengisi air.

Savannah
Setelah kurang lebih berjalan hampir 3 jam, kami tiba di hamparan padang savanna yang indah sekali. Tempat ini mirip tempat yang ada di game harvest moon. Ada satu buah gubuk berdiri diantara tanaman-tanaman kol yang sangat banyak disini. Savanna yang kosong itu seolah membawa kami pada dunia yang berbeda. Indah sekali. Kabut pun mulai muncul saat kami mulai berjalan lagi. Hari pun sudah mulai gelap, dan pepohonan di sekitar kami juga semakin pendek, pertanda puncak artapela mungkin sebentar lagi. Namun, seperti dua bukit sebelumnya, kali ini kami lebih pasrah karena sebelumnya sudah berharap puncak ternyata yang ada kami malah tiba di savanna kosong lagi. Tidak ingin di PHP in kesekian kalinya –cukuplah penderitaan kami di PHP in wanita, eh –kami pun segera melanjutkan perjalanan berhubung kabut juga semakin tebal dan malam sebentar lagi tiba. Saat itu saya, Ade, Gera, dan Arif di kelompok depan sudah hampir tiba, sesekali terdengar teriakan orang dari bawah dan atas. Tandanya bahwa memang puncak mungkin sebentar lagi! Dan syukurlah, tidak lama dari padang savannah kami akhirnya tiba dipuncak Sulibra. Belum puncak artapela memang, karena disini masih ketinggian 2076 mdpl.
Sebelum puncak sulibra 
Di puncak sulibra sudah cukup banyak berdiri tenda-tenda lainnya. Kami menyempatkan foto-foto sunrise dari sini, yang terlihat eksotis sekali. Seperti perasaan mencapai puncak di gunung2 lain, ada perasaan bahagia sekaligus haru ketika tiba ditujuan. Padahal sebenarnya ketinggiannya tidak seberapa, dan cocok untuk pemula yang ingin mencoba mendaki perdana. Saat matahari benar-benar hilang ditelan bukit disebelahnya, kami kemudian mendirikan tenda sambil menunggu kelompok 2: Ebi, Tris, Tino dan Bayu yang masih dibelakang. Malam pun tiba, dan kami sudah lengkap. Sambil membuat perapian, kami menyeduh kopi dan menyantap beberapa snack yang kami beli dari bawah. Ah, sudah cukup lama tidak menikmati malam seperti ini lagi, malam dimana rasa cemasmu hilang digantikan cerita dan harapan dari teman. Sampai tengah malam, kami ngobrol tidak terarah, mulai dari cerita ojek online yang ngaco, cerita marga dan suku ambon, padang, dan harapan lain dimasa depan. Kalau saja kopi masih panas dan mata masih kuat, mungkin obrolan ini tidak akan selesai sampai pagi tiba.
Selamat pagiiii
Untungnya dingin udara puncak sulibra masih dalam taraf normal. Jadi kami masih bisa bangun pagi dan keluar dari sleeping bag yang nyaman. Pagi itu puncak sulibra sedang ramai, tenda bertambah disekeliling kami. Walaupun matahari sesekali tertutup awan, pagi itu pemandangan dari atas sangat jelas sekali darisini. Momen sunrise yang eksotis tidak boleh terlewatkan. Matahari dengan perlahan menampakkan dirinya. Perpaduannya dengan awan menambah pesona nya pagi itu. Didepan tenda dan beralaskan matras, kami duduk, menikmati sunrise dengan menyeruput kopi secara bergantian. Alhamdulillah, perasaan syukur dan bahagia, masih diberi kesempatan untuk melanjutkan hidup, masih diberi kesempatan untuk bernafas :’)

Pagi itu juga kami kembali turun, setelah memasak persedian logistik yang masih tersisa, dan tentunya setelah mengambil foto dari berbagai spot yang berbeda. Sebelum turun kami menikmati makanan ala kadarnya, dengan nasi setengah matang dan beralaskan plastik Indomaret! Gara-gara lupa bawa kertas nasi, hahaha.
Akhirnya kembali ke Jatinangor, dan bersiap kembali ke habitat masing-masing dan menjalani hari-hari biasa dengan rutinitas lagi.    
Foto mainstream

Btw, selamat berpuasa ya bagi yang menjalankan, semoga ibadah kita lancar dan berkah :)



















Komentar

Postingan Populer