(Long) Mudik Journey

Naik kapal? Berapa lama perjalanannya? Kenapa tidak naik pesawat yang lebih cepat dan murah?” Entah berapa kali saya harus menjawab pertanyaan ini setiap kali saya mengatakan akan mudik tahun ini menggunakan kapal (laut). Memang tidak seperti biasanya, di tahun ini saya mencoba pulang kampung (dan alhamdulillah saya masih punya kampung halaman) menggunakan kapal laut yang durasi nya memang lebih lama dari transportasi lainnya. Harganya juga sedikit lebih mahal, tapi percayalah pengalaman yang akan didapatkan selama berlayar sulit dihitung dengan uang. Priceless.

Perjalanan saya dimulai dari stasiun kereta api di Rancaekek. Karena Bandung belum mempunyai pelabuhan sendiri, maka pelabuhan terdekat yang melayani pelayaran sampai ke Pelabuhan Pantoloan di Palu adalah Pelabuhan Tg. Perak di Surabaya. Untuk itu saya harus ke Surabaya terlebih dahulu. Saya memilih menggunakan kereta api Mutiara Selatan, jadwal keberangkatan pukul 15.45 dari stasiun Bandung dan tiba di Stasiun Gubeng Surabaya besok paginya sekitar pukul 05.50 –dan akhirnya harus rela untuk sahur dan berbuka di kereta. Kali ini kereta nya sudah sangat berbeda dari kereta Malabar yang dulu pernah kami gunakan menuju Malang. Tidak ada lagi pedagang asongan yang yang bebas keluar masuk dan gerbongnya sudah lebih bersih. Terimakasih pak Ignasius Jonan sebagai salah satu orang yang telah merubah ‘wajah’ kereta api di Indonesia.

Tiba di Stasiun Gubeng Surabaya, saya tidak terlalu bingung menuju tempat yang diberikan teman saya. Disini angkotnya cukup banyak dan punya angka yang menandakan trayek yang dilaluinya. Dan harga yang dipatok pun sama, jauh-dekat cukup bayar lima ribu rupiah. Taman-taman kota disini punya tanaman dan bunga-bunga yang terawat dengan baik.  Surabaya dikenal juga dengan kota Pahlawan, tak heran banyak monumen dan bangunan-bangunan bersejarah di setiap sudut kota. Saya juga sempat mengunjungi House of Sampoerna, museum rokok salah satu brand rokok ternama di negeri ini. Disana terpampang benda benda dan bahan-bahan yang dulu dipakai untuk memproduksi rokok. Ternyata cengkeh yang berasal dari Toli-Toli, Sulteng merupakan salah satu cengkeh yang berkualitas yang sering digunakan sebagai bahan baku rokok. Disini juga ada cafe dengan suasana cozy, cocok untuk anak muda surabaya yang ingin beromance ria. Ada juga Jembatan Merah Plaza salah satu dari sekian banyak Mall yang didalamnya ada berbagai macam kain dan tekstil dengan harga Murah. Rasanya tak akan cukup mengelilingi kota ini hanya dalam waktu sehari. Untungnya ada teman yang berkuliah di salah satu kampus negeri disini, jadi bisa keliling singkat sehari biaya dengan tidak terlalu mahal. Hehe
House Of  Sampoerna
Hanya saja saya belum berkesempatan melintasi jembatan Suramadu yang menghubungkan Surabaya dengan Pulau Madura. Katanya jembatan terpanjang di Indonesia sampai saat ini, karena pembangunan Jembatan Selat Sunda belum selesai juga. Tapi paling tidak saya bisa menyaksikan langsung jembatan itu dari atas kapal KM Dorolonda yang bersandar di Pelabuhan Tg. Perak. Saat mulai berlayar, jembatan ini terlihat cukup bagus –meski tak sebagus jembatan ponulele alias jembatan 4 di palu :D –dan saat itu lampu-lampu di sekitarnya belum dinyalakan karena hari masih sore.

Perjalanan dari pelabuhan Tg. Perak di Surabaya menuju Pantoloan di Palu memakan waktu kurang lebih 42 jam perjalanan atau 3 hari dua malam. Berangkat jam 3 sore WIB hari Jum’at dan tiba hari minggu jam 9 Pagi WITA. Ya, cukup memakan waktu juga. Persiapan fisik, mental dan keuangan harus baik. Didaam kapal ini ada banyak penumpang dari berbagai daerah di timur Indonesia : Balikpapan, Pantoloan, Toli-toli, Amurang, Bitung, Ternate dst. Didalam kapal ada cukup fasilitas yang bisa dimafaatkan. Kamar mandi disetiap dek, pantry jika ingin mengambil air panas untuk menyeduh kopi/popmie, dek 7 belakang untuk menikmati sunset/sunrise, musholla yang bersih dan satu colokan listrik dekat tempat tidur. Hanya saja kapal ini masih belum begitu bersih tapi sudah cukup layak untuk moda transportasi ekonomi seperti ini. Manajemen makanan bagi penumpang juga sudah baik, karena bulan ramadhan, pihak pelni menyediakan makanan untuk santap sahur dan berbuka. Antrian cukup panjang juga akan sering kita temui di pantry. Ada satu rule yang harus selalu diingat dalam kapal: selalu menjaga barang bawaan jangan sekalipun meninggalkannya apalagi menitipkan pada orang yang belum kita kenal.

Di hari pertama diatas kapal, kebetulan juga berbarengan dengan hari spesial di bulan ini. Sambil membalas ucapan selamat ulang tahun dengan sinyal yang timbul tenggelam, saya bersama beberapa penumpang lain menikmati suguhan atraksi matahari yang akan tenggelam di ufuk barat. Langit yang memerah dengan matahari yang tinggal setengah menjadi teman saya sembari menunggu waktu berbuka. Warbiyaza.  Ucapan and good wishes dari mereka yang mewarnai hidup sampai saat ini menjadi pelengkap. Semoga harapan-harapan baik itu bisa menambah energi positif bagiku untuk melanjutkan kehidupan. #Tsah

From Them :))

Tiba di Pantoloan, hawa panas khas kota ini mulai terasa saat menginjakkan kaki pertama kali. Bahasa bugis dan kaili mulai terdengar dimana-mana. Sudah banyak yang berubah. Perubahan-perubahan pembangunan mulai mengubah wajah kota ini. Tidak mengherankan memang, karena satu-satunya yang pasti didunia ini adalah perubahan itu sendiri. Insya Allah saya akan membahas lebih jauh tentang perubahan kampung halaman di tulisan lain.


Tak lupa, selamat Idul Fitri 1436 H, Minal aidzin wal faidzin mohon maaf lahir Bathin.




Komentar

Postingan Populer