Papandayan Mount - Mood Shifting yang Cepat

Today is the last day in may. Waktu terus berjalan cepat entah kita siap atau tidak. Waktu adalah komoditi berharga yang tidak bisa kita kembalikan (walaupun dalam Film X-Men terbaru yang saya nonton baru-baru ini, sejarah dapat diubah dengan kembali ke masa lalu), tapi ya namanya juga film. Hanyalah fiksi alias tidak nyata.

Baiklah, cukup prolog yang tidak nyambung diatas. Haha. Sebenarnya dipikiran saya masih terbayang gambar sebuah tempat yang belum lama saya kunjungi di akhir pekan kemarin. Sebuah tempat di garut yang menyimpan keindahan alam yang beragam dan ruarrr biasa. Gunung papandayan, ya sebuah gunung yang sudah cukup dikenal luas sebagai kawasan wisata. Hanya saja petualangan kali ini kurang lengkap karena tanpa summit attack nya, alias ga nyampe puncak -_- dikarenakan satu dan lain hal. Ya apa boleh buat.

Setelah prepare, packing dan berdoa bersama, tim pendaki yang terdiri dari 15 orang (IYCCA ganks dan 2 teman lain dari Unpad) memulai perjalanan dari Jatinangor ke Garut dengan menumpang sebuah Elf, mobil minibus bertenaga truck yang sudah ‘diakui’ dijalanan dengan gaya ugal-ugalan khasnya. Cukup deg-degan juga karena baru pertama kali, sugesti negatif yang sudah tertanam di kepala menjadi salah satu penyebab kenapa belum pernah sekalipun mencoba naik elf (:D) Padahal sebenarnya tidak terlalu buruk seperti yang dibayangkan. Sensasi dan suasana nya sekali-kali patut dicoba, selain harga yang jauh lebih murah dibanding bis, juga perasaan menjadi ‘rakyat sesungguhnya’ itu ada di mobil ini. Heyaaaa

Setelah 3 jam menikmati sensasi seru elf, kami tiba di desa Cipaganti, kecamatan Cisurupan, desa yang terletak persis di kaki gunung Papandayan. Disini banyak pendaki lain yang terlihat bersiap-siap. Beberapa supir dan calo mobil bak sedang sibuk menawarkan jasanya untuk mengantar pendaki sampai di camp david, pos pendakian awal. Jadi starting point pendakian sebenarnya bukan dari desa ini, tapi di camp david. Setelah mengecek kembali perlengkapan, kami meneruskan perjalanan menuju camp david dengan menumpang sebuah mobil bak terbuka. Ya rasanya (mungkin) tidak jauh berbeda dengan naik mobil jeep/hartop menuju ranu pane seperti di film 5cm. Sepanjang perjalanan terlihat deretan pepohonan dan perkebunan warga, jauh disana tampak gunung cikurai yang berdiri gagah. Kadang tiba-tiba galau ketika mesin mobil ‘berteriak’ di tanjakan dan berguncang hebat ketika dijalan rusak. Rasanya ingin menyemangati pak supir dengan yel-yel kelompok. Hehe.

Gapura selamat datang pelan-pelan mulai terlihat, siang itu akhirnya kami tiba di camp david, yang ketinggiannya sekitar 2000 mdpl. Warung-warung kecil berjejeran dengan background kawah papandayan yang mengeluarkan asap belerang yang mempesona. Keren! Banyak pendaki sedang beristirahat sambil menikmati gorengan yang dijual diwarung2 kecil ini. Ada juga bule dari belanda yang terlihat sedang bercengkrama dengan beberapa pendaki.

Tidak menunggu lama, pendakian yang sesungguhnya pun dimulai. Dari camp david semuanya dilalui dengan jalan kaki.

Menuju trek kawah
Trek awal cukup menantang. Kami melewati kerikil dan bebatuan dimenit-menit awal. Belum lagi hujan mulai turun memaksa kami harus memakai ponco dan jas hujan. Kawah papandayan begitu dekat, yang tanpa henti menyemburkan gas, menimbulkan rasa kagum sekaligus was-was. Belum lagi (katanya) gunung ini masih aktif dan kadang menyemburkan gas beracun yang sulit diprediksi. Bau asap belerang menemani perjalanan melintasi kawasan kawah. 


Trek kaawah (2)
Tidak terasa kami tiba di batas vegetasi. Disini banyak rerumputan dan pepohonan hijau, jauh berbeda dengan pemandangan sebelumnya. Mood pun berubah seketika, hijau dimana-mana. Kami beristirahat sejenak disini. Perjalanan selanjutnya tidak ada lagi kawah dan bebatuan, hanya jalan setapak yang turun dan menanjak khas trek gunung. Sebelah kanan dan kiri jurang cukup terjal. Terlihat juga bekas longsong besar yang sebenarnya adalah jalur utama, yang dulu (kata temen) bisa dilalui mobil offroad. Sayang sekali ya, padahal trek sebenarnya jauh lebih cepat alias tidak memutar kalau saja jalur itu tidak longsor.

Semakin berjalan, semakin penasaran. Terkadang papandayan memberikan surprise dengan suguhan alamnya yang berbeda-beda di setiap sesi. Sulit ditebak.

Selanjutnya kami tiba di pos (lupa namanya) sebuah persimpangan antara goberhut dan pondok saladah (sepintas terdengar seperti nama kosan di nangor hehe). Setelah melapor dan beristirahat sejenak, kami memilih jalur kiri ke arah pondok saladah, rencananya tenda akan didirikan disana. Kurang lebih sejam melewati hutan lebat, kami tiba di pondok saladah. Kaget juga melihat begitu banyaknya tenda-tenda berwarna warni berdiri di tengah hamparan rumput hijau yang luas. Ditengah-tengah lautan tenda itu ada sebuah tulisan di papan yang tertancap di batang pohon: ‘Dilarang camp di tegal alun’. Sebuah papan pengumuman yang menjawab pertanyaan kenapa banyak sekali tenda berdiri disini.

Kami segera mencari spot untuk mendirikan tenda. Beberapa wanita dari kami mengeluarkan perlengkapan untuk memasak. 3 buah tenda dome pun berdiri, berdampingan dengan bunga2 edelweis dan tenda pendaki lain. Langit mulai gelap. Lampu ditenda-tenda mulai menyala. Tidak lupa kami bergantian untuk sholat, dengan wudhu istimewa: butiran2 air yang menempel di bunga dan dedaunan edelweis. Segar sekali.
Tenda dengan flysheet berwarna biru

Tidak menunggu lama, makanan akhirnya siap, semua berkumpul dan duduk rapi mengelilingi makanan yang beralaskan kertas nasi. Sebelum makan tidak lupa kami menawarkan makanan ke penghuni tenda sebelah. Sama seperti yang dilakukan pendaki lain saat melihat kami baru saja tiba sore tadi. Disini rasanya semua pendaki adalah keluarga. Ya, keluarga walau hanya semalam. 

Malam itu selesai makan, kami menghabiskan waktu dengan bercerita, bercanda dan memainkan games. Hampir semua games yang ada kami mainkan. Mulai dari games sederhana seperti 5 jurus dan seven bombs, sampai permainan yang memerlukan argumen dan logika seperti werewolf dan  pertanyaan dengan clue pembodohan haha. Dibawah flysheet semuanya larut dalam tawa. Keseruan malam itu pun berakhir. Semua kembali ke tenda dan beristirahat, menunggu perjalanan selanjutnya besok pagi. Suara canda, alunan gitar dan nyanyian dari tenda lain menjadi penghantar tidur malam itu.


-----


“Bangun yi, kita mau jam berapa nyampe tegal alun…”

Suara diatas terdengar samar beberapa kali. Diluar sudah terang. Rasanya masih ingin terus menikmati nyamannya berada dalam sleeping bag ini. Tapi perjalanan harus tetap dilanjutkan. Pagi ini cuaca cukup cerah, seperti biasa pondok saladah sudah ramai dengan pendaki yang mulai beraktifitas: ada yang sedang berkumpul didepan tenda, mengambil air, berjalan jalan, ada pula yang baru turun dari tegal alun.

Kami juga bersiap-siap. Tujuan selanjutnya adalah tegal alun. Tujuan akhir kami di papandayan. Pagi ini begitu bersemangat, ditambah perjalanan yang terasa lebih mudah karena tanpa membawa beban sama sekali. Carrier dan perlengkapan lain ditinggal ditenda yang dijaga 2 teman kami. Setelah berjalan melewati hutan, kami tiba disebuah tempat misterius tapi keren : hamparan rangka pohon berwarna hitam pekat, rapuh dan tanpa daun. Hutan mati membuatku tertegun sejenak. Tempat ini seperti menyimpan sejarah kelam, saksi bisu dahsyatnya letupan papandayan. Karena unik dan beda, tempat ini jadi salah satu spot favorit buat photo session.  

Hutan Mati

Hutan mati (2)

Hutan mati sudah dilewati, kami terus berjalan lurus dan masuk kedalam hutan lagi. Kali ini adalah hutan hidup dengan pepohonan hijau. Terkadang terdengar suara pendaki lain yang berteriak dan saling sahut-sahutan. Tidak jarang kami berpapasan dengan pendaki lain, saling sapa dan bertukar senyum. Tidak boleh ada yang ansos disini. Mungkin karena semua pendaki merasa yang lain juga sama-sama sedang berjuang. Haha.

Kurang lebih 30 menit dari hutan mati, melewati trek yang lumayan nanjak dan curam, akhirnya kami tiba di Tegal Alun. Rasanya seolah didunia lain. Sejauh mata memandang, hanya ada hamparan bunga abadi berwarna putih. Ini surganya edelweis! Tidak ada tempat yang tidak bagus untuk foto disini. Kami terus berjalan hingga ke ujung. Ekspresi wajah kekaguman terlihat disudut-sudut tegal alun. Tidak ada yang sedih disini. Subhanallah!
Edelweis Everywhere

Fly


Kami beristirahat dan sarapan disini. Hanya saja sarapan kali ini sedikit berbeda : duduk santai dibawah pohon sambil menikmati pemandangan padang edelweis. Wuh. Setelah puas berfoto dan merekam dengan berbagai gaya (dari sedemikian banyak gaya yang teman-teman saya gunakan, sepertinya gaya candid yang paling populer. Haha) kami bergegas kembali ke pondok saladah, packing, makan siang dan bersiap untuk turun. Sebelumnya kami sempat berfoto bersama pendaki lain yang juga sedang menikmati tegal alun : 


Tegal Alun


Rasanya masih ingin terus berlama-lama disini, tapi apa daya kami harus kembali, menjalani rutinitas sebagai mahasiswa yang (terkadang) membosankan. 

Gunung Papandayan menawarkan keindahan alam yang beragam, dijamin mood shifting akan cepat terjadi disini. Terimakasih untuk perjalanan pecaaaaah kali ini. Mudah-mudahan setelah ini adalah semeru, gunung indah di lumajang sana. *amin* 



Life is more exciting with travelling :) ~
IYCCA Ganks 



















Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer